Kamis, 31 Juli 2014

[Cerita Ajeng] Chapter 3: Case Closed, But Not Me



"Jeng? Are you alright?" Rinto memandangku dengan tatapan khawatir.
“Yap! Case closed. Intinya video itu tersebar, To. Dan, aku dari dulu memang sudah dibicarakan di kampus. Jadi, ketika video itu tersebar, bukan gak mungkin salah satu dari mereka melihat. Dan, ada saja orang yang sekurang kerjaan itu, membuat poster, dan cerita-cerita ala mereka sendiri. Hahhh, hidupku dikelilingi orang kurang kerjaan seperti itulah memang.”
Rinto terdiam mendengar ocehanku.
“Sorry, Jeng.” ucapnya pelan.
“Hahaha gak apa-apa To. Aku sih sudah biasa dikelilingi gosip dan orang-orang yang sok tahu.” Aku mengatakan itu sambil mengeluarkan lembaran uang berwarna merah ke atas meja.
“Jeng?”
“Sorry To, aku duluan ya. Aku udah lega. Yang penting aku tahu dari mana video itu menyebar. Thank you yah." Bohong sih. Tidak mungkinlah aku lega menghadapi hal seperti ini. Tapi, mengingat Rinto adalah pelangganku, aku membatasi diri untuk tidak membuatnya terlibat lebih dari ini. "Kamu pesen aja yang kamu mau. Sorry udah nyuruh kamu dateng jauh-jauh ke sini.” Ujarku pelan, kemudian siap-siap beranjak pergi. 

[Cerita Ajeng] Chapter 2: Complicated or Miserable?



“Ajeeeng!!!”
            Aku menoleh ke arah sumber suara. Dina, teman baikku, tampak berlari ke arahku.
            “Hey, pagi Din!” sapaku ringan.
            “Jangan ‘pagi pagi’-in aku dulu deh. Mending kamu jelasin dulu ke aku. Ini apa Jeng?”
            Aku menatap lembaran poster yang menjuntai di genggamannya. Poster itu berisi tulisan acak, layaknya sebuah majalah dinding. Ada fotonya. Tunggu, ....ini kan... ini kan fotoku!
            “Din, ini kan.....”
            “Ini kamu kan, Jeng? Ada apa ini? Aku gak ngerti! Dan aku berharap kamu mau jelasin semua yang aku perlu tahu tentang poster ini! .....”
            Aku terpaku di tempatku berdiri. Aku tidak begitu fokus mendengar permintaan dan ocehan Dina yang sepertinya masih berlanjut. Aku berpikir sudah sejauh apa berita ini tersebar. Aku tanpa sadar bergerak mengambil poster yang masih dipegang Dina untuk melihat lebih jelas apa yang tertulis di poster tersebut. 

Minggu, 27 Juli 2014

[Cerita Kai dan Kila] Chapter 2 : Kila

“Kilaaaa!! Tungguuu!” terdengar teriakan dari sudut jalan.
“Tunggu! Hei! Dasar jahil!” susul suara yang lainnya.
“Sini lo, Kil!! Jangan lari!!” suara terakhir terdengar tak kalah emosi.
“Kilaaaa! Ah nyebelin nih anak!" ucap satu lagi terengah-engah tak sanggu meneruskan larinya.

Gadis SMA yang dipanggil Kila itu, sama sekali tidak menoleh. Hanya terus berlari menjauh sambil tertawa-tawa. Puas tampaknya. Sementara beberapa korban kejahilannya masih terus berusaha mengejarnya, si gadis jahil masih terus berlari sambil mencari tempat persembunyian berikutnya. Namun terlalu senang mungkin dan tak melihat jalannya. Lalu,…
BRAAKK!!!!
Ia menabrak seseorang. Sedikit merasa bersalah, tapi tak begitu ambil pusing, Kila menyelesaikannya hanya dengan menoleh sekilas sambil berkata singkat, 
“Maaf, ya!”
Tak lagi dipedulikannya orang yang tadi ditabraknya. Sekarang ia sudah mulai berlari lagi. Tak menyadari awal dari sebuah dilema. Tanpa melihat dengan baik sosok lelaki yang sedang meringis kesakitan. Sosok yang tanpa Ia ketahui, akan jadi dilemanya. 
Sementara korban tabrak lari Kila masih berdiri disana, meringis kesakitan. Seorang siswa SMA bernama Kai, meringis dan tak henti-hentinya merutuk dalam hati. Hingga akhirnya Ia mengumpulkan segenap kemampuannya untuk berdiri dan mengumpat,
"Anjiiirr, sakit banget badan gue! Rese’ banget tuh cewe’! Gak bakal deh ntar Gue dapet cewe’ kayak gitu!!"
......begitu katanya. 
Namun, apalah arti sebuah kalimat di masa lalu. Tak akan pernah, merubah kenyataan, bahwa suatu saat nanti mereka akan bersatu. Dan berpisah. Lalu bersatu lagi…..Siapa tahu kan? Itu kehendak semesta. Siapa yang bisa merubah? Mereka berdua pun tidak. 
<< Bersambung >>

Sabtu, 26 Juli 2014

[Cerita Kai dan Kila] Chapter 1 : Penyesalan

KAI
Penyesalan hanyalah satu dari sekian kata yang sanggup melukiskan apa yang dirasakannya hingga saat ini. Diam dan termenung, pria muda itu merapatkan tubuhnya sebisa mungkin ke bantal guling kesayangannya. Malam yang terlalu dingin untuk dilewatkan sendirian. Pria itu memandang kosong ke sisi lain tempat tidurnya, kembali merenungi dirinya. Menyesali perbuatannya. Bingung. Kehilangan. Tidak ada kata-kata yang benar-benar tepat, yang dapat melukiskan perasaannya saat ini.


[Cerita Ningrum] Chapter 1 : Di Sore Itu



NINGRUM

            Di sore itu, seperti sore-sore yang biasanya, aku menghabiskan waktuku di sekitar Raka.
“Raka mau kopi?” tanyaku, berusaha terdengar wajar.
            “Emm,....gulanya dikit aja.” Jawabnya tanpa memandang ke arahku.
            “Silakan....” Aku menyodorkan kopi yang sudah kubuat padanya. Berharap dapat melihat senyumannya.
            “Makasih...” Sekali lagi ucapnya, tanpa memandang padaku. Pikirannya begitu terperangkap pada koran yang sedari tadi berada dalam genggamananya. Bukannya aku mau komplain sih. Ini memang masa istirahat yang jarang dia dapatkan. Aku saja yang berharap sendiri. Setelah membuang harapanku bersama dengan sehela nafas, aku berjalan ke belakang sandaran sofanya.
            “Raka, aku pijetin ya?”
            “Hm,....”
            Tidak membiarkan kekecewaan menelan hatiku, aku bergerak cepat mengulurkan tanganku menyentuh bahunya perlahan. Meremas seluruh kelelahan yang ada di pundaknya.
            “Ning,.....” ucapnya akhirnya, setelah 10 menit lebih aku berdiam diri, memilih untuk memijat pundaknya ketimbang merajuk.
            “Apa, Ka?” jawabku pelan.
            “Si Asih bilang iya.....” suara Raka bergetar. Aku tak yakin aku mengerti arah pembicaraan ini. Tapi aku menelan keraguanku dan memberanikan diri bertanya.
            “Iya? Iya untuk apa, Ka?”
            “Iya, dia meng-iya-kan, jadi pacarku Ning. Kamu percaya ndak? Si Asih lho ini.”
            “Oh ya? Kok dia mau ya sama kamu?” ucapku, berusaha terdengar sewajar mungkin.
            “Wah, kamu nih Ning, jangan salah. Aku lho, gini-gini tenar. Banyak fans-nya aku ini.”
          “Mimpi kamu, Ka...” aku menoyor kepalanya dan meraih tas kecilku. “Aku pulang dulu yo, udah mau malam.”
            “Hahaha lho kok kamu gak percaya sih Ning. Harusnya kamu bangga temenmu ini banyak yang suka.” Candanya dengan senyum tersungging di bibir. “Hati-hati Ning!”
            Yo." ucapku pelan. Kemudian menongolkan kepalaku dari balik pintu, "Kamu juga hati-hati Ka, jangan terbang ketinggian. Ntar jatuh sakit.” kataku cepat kemudian menghilang di balik pintu.



************************************


            Raka,... apakah kamu serius dengan Asih? Aku mendengar hatiku menggemakan pertanyaan itu.  Ahh, aku menghela nafas. Betapa hatiku gemar membuatku gundah. Dengan cubitan kecil aku mencoba menyadarkan diriku untuk tidak terlalu memikirkannya. Itu masih belum menjadi urusanku. Dan, cubitan itu berhasil. Setidaknya aku merasakan sakit. Itu lebih baik daripada tidak dapat merasakan apa-apa akibat memikirkan dia.
            Aku sudah pernah berjanji pada mama, sejauh apapun aku menyukai seorang laki-laki, aku tidak akan membiarkan diriku kehilangan akal. Baiklah. Mungkin ini saatnya mencoba resep kue baru untuk dibawa ke rumah Raka lain kali. Semoga kali ini dia mau jadi kelinci percobaan dengan sukarela.
<< bersambung >>


           

Rabu, 23 Juli 2014

[Cerita Ajeng] Chapter 1: Bukan Malam Pertama



   Hal ini tidak akan berlangsung terlalu lama, demikian pikirku. Aku mengalihkan pandanganku ke luar, berpura-pura tidak merasakan, tekanan yang mulai terasa, menusuk di bagian selangkanganku. Aku meringis. Sepertinya sedikit air mata ikut mengalir turun. Sakit!

Tapi aku merasakan kecupan lembut di keningku. Meskipun aku tidak menginginkan kecupan di kening oleh orang seperti dia, kecupan di kening tetaplah sihir bagiku. Aku merasa tubuhku sedikit rileks, meskipun setengah tubuh bawahku masih dalam keadaan tegang. Dia tidak bergerak, membantuku untuk rileks. Setelah beberapa saat, dia mulai bergerak. Aku bisa merasakan dirinya bergerak perlahan di dalamku. Aku meringis. Sakit! Sakit sekali! Aku tidak pernah menyangka akan sesakit ini.

Saking sakitnya, aku refleks mengulurkan tanganku ke dada bidangnya, dan menahan tubuhnya perlahan. Dia sepertinya mengerti dan memperlambat gerakannya. Meskipun itu sama sekali tidak meringankan sakit yang kurasakan. Yang aku inginkan adalah dia berhenti bergerak di dalam diriku.
Tapi sepertinya, sudah percuma meminta hal itu sekarang. Nafasnya memburu, setelah sempat melambat dia kembali memacu tubuhnya. And it hurts like hell!

Aku tidak bisa menahan teriakan yang keluar dari mulutku ketika dia bergerak terlalu cepat. Dia menundukkan kepalanya dan berbisik di telingaku, “What a slut, screaming like that. You really turn me on, you know!” kemudian mempercepat gerakannya.

Aku tersentak, memandang mata dinginnya. Tidak ada lagi pria malu-malu yang memohon padaku tadi siang. Tidak ada lagi. Yang ada di sana hanyalah mata pemangsa, yang tengah melahap buruannya. Dengan cepat. Seakan-akan, bila tidak, dia akan kehilangan buruannya.

“Aaaakkhhh, stopph it... ph...leasee...” di tengah gerakannya yang begitu cepat, aku akhirnya memohon. Sekalipun tahu, dia tidak akan berhenti atau bahkan mengurangi kecepatannya.

“There is no..hh...fuckhh~ing...wayy..hh...that...I...hh..wouldss...stop!!” kedua tangannya menggenggam pangkal pahaku, sebelum akhirnya merapel seluruh keinginannya dalam satu sentakan keras. "Ajeng!! Ajeng!!! Damn it!!" Setelah meneriakkan namaku berkali-kali, tubuhnya menegang, dan matanya memejam. Aku pun ikut memejam. Mencoba membuang rasa mual yang kurasakan malam itu.

Setelah mengeluarkan seluruh ekspresi kenikmatannya, Ia menunduk dan mencium pipiku lembut, “Thanks...” kemudian turun dari tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi.
Air mata mengalir di pipiku tak lama setelah terdengar pintu kamar mandi dikunci. Tidak mau berlama-lama tenggelam dalam pikiran yang tidak aku perlukan, aku meraih pakaianku, mengenakannya perlahan dalam diam, untuk kemudian mengambil seluruh barang-barangku, amplop darinya dan pergi meninggalkan kamar itu sebelum dia selesai membersihkan dirinya.