Kamis, 31 Juli 2014

[Cerita Ajeng] Chapter 2: Complicated or Miserable?



“Ajeeeng!!!”
            Aku menoleh ke arah sumber suara. Dina, teman baikku, tampak berlari ke arahku.
            “Hey, pagi Din!” sapaku ringan.
            “Jangan ‘pagi pagi’-in aku dulu deh. Mending kamu jelasin dulu ke aku. Ini apa Jeng?”
            Aku menatap lembaran poster yang menjuntai di genggamannya. Poster itu berisi tulisan acak, layaknya sebuah majalah dinding. Ada fotonya. Tunggu, ....ini kan... ini kan fotoku!
            “Din, ini kan.....”
            “Ini kamu kan, Jeng? Ada apa ini? Aku gak ngerti! Dan aku berharap kamu mau jelasin semua yang aku perlu tahu tentang poster ini! .....”
            Aku terpaku di tempatku berdiri. Aku tidak begitu fokus mendengar permintaan dan ocehan Dina yang sepertinya masih berlanjut. Aku berpikir sudah sejauh apa berita ini tersebar. Aku tanpa sadar bergerak mengambil poster yang masih dipegang Dina untuk melihat lebih jelas apa yang tertulis di poster tersebut. 
            Foto ini diambil dari depan, dari posisi yang harusnya bisa kulihat. Pria yang berada di belakangku itu, Rinto, pelanggan setiaku. Kapan aku melayani Rinto terakhir kali? Jumat lalu bukan? Apakah Rinto yang mengambil foto ini diam-diam tanpa seizinku? Apakah dia yang menyebarkannya? Atau ..... Arghh!! Kepalaku pusing. Terlalu banyak kemungkinan dan terlalu banyak yang aku khawatirkan. Bagaimana ini?
            “....jeeng?? AJENG!!!” suara keras Dina mengagetkanku.
            “Eh, maaf Din, kamu ngomong apa tadi?”
            “Aduuh, kamu daritadi gak dengerin aku ya? Udah ah, aku males. Buruan deh ceritain, ini ada apa?”
            Aku menundukkan kepalaku.
            “Aku gak bisa bilang Din.....”
            “Kenapaa???”
            “....k-kalo aku bilang, kamu pasti bisa benci banget sama aku...”
            “Percuma, Jeng! Sekarang aku udah benci kamu. Gak bilang apa-apa malah akan memperburuk perasaanku. Sekarang kamu mau bilang, atau enggak?”
            “..........Din, aku gak tahu apa kamu pernah mendengar desas-desus tentangku atau tidak. Kalau pernah, aku bersyukur kamu tidak pernah sekalipun bertanya padaku. Tapi kalau tidak pernah, aku sepertinya memang perlu kasih tahu kamu sekarang. Aku seorang PSK Din. Prostitusi. Dan, foto itu, ketika aku sedang melayani salah seorang tamuku. Aku gak tau gimana foto itu bisa tersebar, atau siapa yang menyebarkannya. Aku akan cari tahu.”
            Aku melihat Dina terdiam di tempatnya, memandangku dengan muka tidak percaya. Muka kaget bercampur.... aku tak tahu, sepertinya dia juga marah padaku.
            “Din....” Menelan ludah pun terasa sulit sekarang. “Maaf aku gak bilang ini sama kamu. Aku tahu, kalau tidak benci, minimal kamu pasti tidak akan mau berteman lagi denganku. Maaf ya Din.. aku harus pergi sekarang. Aku mau cari tahu siapa yang menyebarkan foto tentangku itu.”
            Aku berbalik badan dan berlari meninggalkan gedung kampus. Aku sempat menoleh melihat Dina masih berdiri di sana. Aku benar-benar kaget. Tidak menyangka akhirnya harus mengatakan yang sebenarnya pada Dina. Satu-satunya orang yang masih mau jadi sahabatku, setelah di tahun pertama menyebar gosip tentang aku yang bekerja menjadi seorang PSK lepas. Entah karena dia tidak mendengar beritanya atau karena tidak percaya, kami menjadi dekat setelah dia duduk di sebelahku untuk pertama kalinya di kelas Studi Sosiologi Agama. Aku, .....belum siap kehilangan teman seperti Dina. Tapi tampaknya, orang seperti aku memang tidak bisa punya teman.
            Aku menghela nafas cukup panjang sebelum akhirnya berhenti sebentar beberapa meter di luar pintu gerbang kampus, melihat kontak di handphone-ku. Aku mencari nama Rinto. Dapat! Buru-buru aku memencet tombol Dial, kemudian menanti dia mengangkat.
            Clek. Diangkat!
            “Halo?”
            “Halo, ini Rinto benar?”
            “Iya, benar. Ini siapa ya?”
            “Ini Ajeng. Boleh bicara sebentar gak?”
            “Ajeng? Umm,......ohhh, anak buah Classic ya? Boleh, boleh. Kenapa Ajeng? Mau lagi?”
            “Bukan itu Rinto. Boleh ketemu gak? Gue butuh ngobrol empat mata secara langsung sama lo. Mau mastiin sesuatu aja. Boleh kan?”
            “Hahaha, serius ya? Boleh aja sih. Lo di mana, Jeng? Gue jemput deh.”
            “Engg, kita ketemu aja deh, di kafe G, di daerah Kemanggisan.”
            “Ohh, oke. Gue ke sana sekarang ya.”
            Setelah menutup telepon, aku pun langsung menuju ke tempat itu untuk menunggu Rinto datang.
            Sesampainya di kafe G, aku memesan minum untuk menanti Rinto. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus sampai bertemu dengannya di kafe seperti ini. Aku seharusnya tidak melakukan underhanded call ke orang yang masih terhitung pelanggan. Kalau bos tahu, aku bisa dipecat.
            Rinto adalah pelanggan tetap bosku. Dia sendiri mengaku sudah pernah tidur hampir dengan semua anak buah bosku. Tapi entah kenapa, 1 bulan terakhir ini dia selalu memesan aku. Mungkinkah karena kehebatanku di atas ranjang? Arghh!! Ajeng!! Ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Fokus! Aku harus bisa mendapatkan informasi darinya. Minimal mengetahui, dia terlibat dengan menyebarnya foto itu atau tidak. Karena aku tidak keberatan kalau ada pelanggan yang mengabadikan momen bersamaku, diam-diam atau terang-terangan. Yang jadi masalah adalah, kalau dokumentasi itu sampai menyebar.
            Criing!!
            Pintu kafe terbuka, dan lamunanku terhenti demi melihat Rinto masuk ke dalam kafe. Aku melambai ke arahnya, memberi tanda. Ketika dia melihatku, dia langsung tersenyum dan berjalan ke arahku.
DHEG! Aku baru menyadarinya, aku tidak pernah benar-benar melihat postur tubuhnya ketika hari masih siang seperti ini. Dan, baru kali ini aku melihatnya berpakaian kasual. Kaos abu-abu Nusantaranger terlihat bagus dikenakannya. Ternyata dia penggemar komik. Tanpa sadar aku tertawa kecil dan tidak menyadari tahu-tahu dia sudah ada di depanku.
“Ada yang lucu sama penampilan gue ya?” tanyanya. Mukanya terlihat risih dan malu-malu.
“Hah? Ohh, gak ada kok!” aku melambaikan tangan menenangkannya. “Gue lagi ngelamun tadi. Sorry, sorry.”
“Hahaha okay. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kali kita ketemu di luar pekerjaan kamu ya.” Ujar Rinto. Aku kaget dengan ‘gue-elo’-nya yang tiba-tiba hilang.
“Iya...” kali ini gantian aku yang malu-malu mengingat apa saja yang sudah kami lakukan.
“Heee~ kamu bisa malu-malu gitu juga. Pas lagi kerja muka kamu selalu stoic. Datar. Terlihat profesional banget sih. Tapi lain kali pas lagi di tempat tidur kamu berekspresi malu-malu begini dong. Maybe it would turned me hard on. Hahahaha!” dia tergelak.
Sumpah! Kalau aku lagi gak butuh informasi darinya, mungkin aku sudah meninggalkannya daritadi. Dia bisa banget ya, bicara lantang tentang hal seperti itu di kafe seperti ini. Damn pervert!
“Rinto, aku mau bicara serius. Udah ah, bercandanya.”
“Hahaha, oke, oke. Jadi sekarang, kamu mau bicara apa?”
“Jujur ya, To.” Aku menarik nafas, sebelum akhirnya melanjutkan. “Terakhir kita melakukannya, kamu ada merekam kegiatan seksual kita enggak?”
“What? Terakhir? Jumat kemaren? Ada lah! Aku selalu ngerekam kali. Cuma aku gak ngomong. Hahaha, maaf maaf. Emangnya kenapa?”
What. An. Easygoing. Man! Dia gak tahu apa rekamannya itu hampir bikin kehidupan kampusku berakhir. Aku menahan emosiku. Menghela nafas sejenak sebelum mulai bertanya lagi.
“Gak masalah To. Kami gak pernah melarang pelanggan mendokumentasikan kegiatan seksual kami, baik jujur maupun tidak. Kami baik-baik saja dengan itu, selama itu tetap menjadi konsumsi pribadimu. Tapi akan menjadi masalah kalau kamu menyebarkannya tanpa seizin kami. Ke siapa aja udah kamu sebarin video kita, To?”
“What?? Nyebarin? Kamu ngomong apa sih? Aku gak pernah nyebarin video yang aku buat sendiri. Itu cuma aku jadiin koleksi pribadi. Me, as a pornstar, you know. Hahaha!”

Bocah ini, masih bisa bercanda.
 
“Oh ya? Kalau begitu, boleh aku tanya di mana kamu simpan, ‘koleksi pribadi’-mu itu, mister Rinto?” aku sudah mulai tidak tahan. 

“Tentu saja adanya aman, di.......” omongan Rinto terhenti. Dia terlihat berpikir sejenak. “Ya ampun!!!” Ia menepuk jidatnya. Kemudian membawa jari-jarinya menyentuh bibirnya yang seksi sementara Ia berpikir. Wait, baruan aku bilang apa? Seksi? Oh, gross.
“Well? Rinto? Di mana file-nya?” aku bertanya sekali lagi.
Rinto memandang ke arahku dengan pandangan yang bikin aku penasaran. Ini orang kenapa sih?
“Hmm, Jeng... Boleh aku tanya kenapa kamu menanyakan hal ini dari tadi?” kata Rinto akhirnya. Meski yang keluar malah pertanyaan, tapi toh, kujawab juga.
“Sebuah poster menyebar di kampus. Berisi gosip dan foto tentang kegiatan prostitusi yang kulakukan. Dan orang yang ada di foto itu adalah kamu dan aku, dalam posisi....” aku memandang sekitar, kemudian berbisik, “....doggy style..”
Kalau aku sedang tidak dalam masalah seperti ini, aku akan tertawa melihat ekspresi terkejutnya Rinto.
“Serius Jeng?”
Aku mengangguk.
“Kayaknya aku tahu deh kenapa bisa tersebar. Masalahnya, aku gak tahu kenapa bisa menyebar di kampus kamu.”
“Hah? Maksudnya kamu tahu, gimana To?” perasaanku tidak enak.
“Kemarin, aku habis service laptop, Jeng. Dan, ada kemungkinan orang service itu menemukan video kita. " kata-kata Rinto barusan mengonfirmasi perasaan tidak enak yang aku rasakan. Rinto menambahkan, "Mungkin dia yang sebarin, kalau memang video kita tersebar. Tapi kalau masalah foto, dan kenapa itu bisa disebar di kampus kamu, aku gak ngerti.”
Kenapa hal ini harus terjadi padaku. 

<< Bersambung>>



8 komentar:

  1. Balasan
    1. Hahahaha, memasukkan semua fakta yang disukai ke dalam karya buatan adalah dasar dari semua fiksi.. *ngeles* :))

      Hapus
  2. Haha doggy style itu gimana kakci? *Melipir*

    BalasHapus
  3. penasaran doggy style nih. haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. anuuu.......doggy style ya.... anu.....
      ._. )

      Hapus
  4. Ohh.. Ternyata Ajeng itu psk toh? Lah drtd kemana aja yak wkwk.
    Emmm.. Doggy style tuh gimana ya kak? emmm...

    BalasHapus

Hai semua, Ajeng, Ningrum dan Kila menanti komentar kamu. Komentar yang baik ya!