“Ajeeeng!!!”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Dina, teman baikku, tampak berlari ke arahku.
“Hey, pagi Din!” sapaku ringan.
“Jangan ‘pagi pagi’-in aku dulu deh.
Mending kamu jelasin dulu ke aku. Ini apa Jeng?”
Aku menatap lembaran poster yang
menjuntai di genggamannya. Poster itu berisi tulisan acak, layaknya
sebuah majalah dinding. Ada fotonya. Tunggu, ....ini kan... ini kan fotoku!
“Din, ini kan.....”
“Ini kamu kan, Jeng? Ada apa ini?
Aku gak ngerti! Dan aku berharap kamu mau jelasin semua yang aku perlu tahu
tentang poster ini! .....”
Aku terpaku di tempatku berdiri. Aku
tidak begitu fokus mendengar permintaan dan ocehan Dina yang sepertinya masih
berlanjut. Aku berpikir sudah sejauh apa berita ini tersebar. Aku tanpa sadar
bergerak mengambil poster yang masih dipegang Dina untuk melihat lebih jelas
apa yang tertulis di poster tersebut.
Foto ini diambil dari depan, dari
posisi yang harusnya bisa kulihat. Pria yang berada di belakangku itu, Rinto,
pelanggan setiaku. Kapan aku melayani Rinto terakhir kali? Jumat lalu bukan?
Apakah Rinto yang mengambil foto ini diam-diam tanpa seizinku? Apakah dia yang
menyebarkannya? Atau ..... Arghh!! Kepalaku pusing. Terlalu banyak kemungkinan dan
terlalu banyak yang aku khawatirkan. Bagaimana ini?
“....jeeng?? AJENG!!!” suara keras
Dina mengagetkanku.
“Eh, maaf Din, kamu ngomong apa tadi?”
“Aduuh, kamu daritadi gak dengerin
aku ya? Udah ah, aku males. Buruan deh ceritain, ini ada apa?”
Aku menundukkan kepalaku.
“Aku gak bisa bilang Din.....”
“Kenapaa???”
“....k-kalo aku bilang, kamu pasti
bisa benci banget sama aku...”
“Percuma, Jeng! Sekarang aku udah
benci kamu. Gak bilang apa-apa malah akan memperburuk perasaanku. Sekarang kamu
mau bilang, atau enggak?”
“..........Din, aku gak tahu apa
kamu pernah mendengar desas-desus tentangku atau tidak. Kalau pernah, aku
bersyukur kamu tidak pernah sekalipun bertanya padaku. Tapi kalau tidak pernah,
aku sepertinya memang perlu kasih tahu kamu sekarang. Aku seorang PSK Din.
Prostitusi. Dan, foto itu, ketika aku sedang melayani salah seorang tamuku. Aku
gak tau gimana foto itu bisa tersebar, atau siapa yang menyebarkannya. Aku akan
cari tahu.”
Aku melihat Dina terdiam di
tempatnya, memandangku dengan muka tidak percaya. Muka kaget bercampur.... aku
tak tahu, sepertinya dia juga marah padaku.
“Din....” Menelan ludah pun terasa
sulit sekarang. “Maaf aku gak bilang ini sama kamu. Aku tahu, kalau tidak
benci, minimal kamu pasti tidak akan mau berteman lagi denganku. Maaf ya Din..
aku harus pergi sekarang. Aku mau cari tahu siapa yang menyebarkan foto
tentangku itu.”
Aku berbalik badan dan berlari
meninggalkan gedung kampus. Aku sempat menoleh melihat Dina masih berdiri di
sana. Aku benar-benar kaget. Tidak menyangka akhirnya harus mengatakan yang
sebenarnya pada Dina. Satu-satunya orang yang masih mau jadi sahabatku, setelah
di tahun pertama menyebar gosip tentang aku yang bekerja menjadi seorang PSK
lepas. Entah karena dia tidak mendengar beritanya atau karena tidak percaya,
kami menjadi dekat setelah dia duduk di sebelahku untuk pertama kalinya di
kelas Studi Sosiologi Agama. Aku, .....belum siap kehilangan teman seperti
Dina. Tapi tampaknya, orang seperti aku memang tidak bisa punya teman.
Aku menghela nafas cukup panjang
sebelum akhirnya berhenti sebentar beberapa meter di luar pintu gerbang kampus,
melihat kontak di handphone-ku. Aku mencari nama Rinto. Dapat! Buru-buru aku
memencet tombol Dial, kemudian menanti dia mengangkat.
Clek. Diangkat!
“Halo?”
“Halo, ini Rinto benar?”
“Iya, benar. Ini siapa ya?”
“Ini Ajeng. Boleh bicara sebentar
gak?”
“Ajeng? Umm,......ohhh, anak buah
Classic ya? Boleh, boleh. Kenapa Ajeng? Mau lagi?”
“Bukan itu Rinto. Boleh ketemu gak?
Gue butuh ngobrol empat mata secara langsung sama lo. Mau mastiin sesuatu aja.
Boleh kan?”
“Hahaha, serius ya? Boleh aja sih.
Lo di mana, Jeng? Gue jemput deh.”
“Engg, kita ketemu aja deh, di kafe
G, di daerah Kemanggisan.”
“Ohh, oke. Gue ke sana sekarang ya.”
Setelah menutup telepon, aku pun
langsung menuju ke tempat itu untuk menunggu Rinto datang.
Sesampainya di kafe G, aku memesan
minum untuk menanti Rinto. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus sampai bertemu
dengannya di kafe seperti ini. Aku seharusnya tidak melakukan underhanded call ke orang yang masih
terhitung pelanggan. Kalau bos tahu, aku bisa dipecat.
Rinto adalah pelanggan tetap bosku.
Dia sendiri mengaku sudah pernah tidur hampir dengan semua anak buah bosku.
Tapi entah kenapa, 1 bulan terakhir ini dia selalu memesan aku. Mungkinkah
karena kehebatanku di atas ranjang? Arghh!! Ajeng!! Ini bukan saatnya
memikirkan hal seperti itu. Fokus! Aku harus bisa mendapatkan informasi
darinya. Minimal mengetahui, dia terlibat dengan menyebarnya foto itu atau
tidak. Karena aku tidak keberatan kalau ada pelanggan yang mengabadikan momen
bersamaku, diam-diam atau terang-terangan. Yang jadi masalah adalah, kalau
dokumentasi itu sampai menyebar.
Criing!!
Pintu kafe terbuka, dan lamunanku
terhenti demi melihat Rinto masuk ke dalam kafe. Aku melambai ke arahnya,
memberi tanda. Ketika dia melihatku, dia langsung tersenyum dan berjalan ke
arahku.
DHEG! Aku baru menyadarinya, aku tidak pernah benar-benar
melihat postur tubuhnya ketika hari masih siang seperti ini. Dan, baru kali ini
aku melihatnya berpakaian kasual. Kaos abu-abu Nusantaranger terlihat bagus
dikenakannya. Ternyata dia penggemar komik. Tanpa sadar aku tertawa kecil dan
tidak menyadari tahu-tahu dia sudah ada di depanku.
“Ada yang lucu sama penampilan gue ya?” tanyanya. Mukanya
terlihat risih dan malu-malu.
“Hah? Ohh, gak ada kok!” aku melambaikan tangan
menenangkannya. “Gue lagi ngelamun tadi. Sorry,
sorry.”
“Hahaha okay. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kali kita ketemu
di luar pekerjaan kamu ya.” Ujar Rinto. Aku kaget dengan ‘gue-elo’-nya yang
tiba-tiba hilang.
“Iya...” kali ini gantian aku yang malu-malu mengingat apa
saja yang sudah kami lakukan.
“Heee~ kamu bisa malu-malu gitu juga. Pas lagi kerja muka
kamu selalu stoic. Datar. Terlihat profesional banget sih. Tapi lain
kali pas lagi di tempat tidur kamu berekspresi malu-malu begini dong. Maybe it would turned me hard on. Hahahaha!”
dia tergelak.
Sumpah! Kalau aku lagi gak butuh informasi darinya, mungkin
aku sudah meninggalkannya daritadi. Dia bisa banget ya, bicara lantang tentang
hal seperti itu di kafe seperti ini. Damn
pervert!
“Rinto, aku mau bicara serius. Udah ah, bercandanya.”
“Hahaha, oke, oke. Jadi sekarang, kamu mau bicara apa?”
“Jujur ya, To.” Aku menarik nafas, sebelum akhirnya
melanjutkan. “Terakhir kita melakukannya, kamu ada merekam kegiatan seksual kita
enggak?”
“What? Terakhir? Jumat kemaren? Ada lah! Aku selalu ngerekam
kali. Cuma aku gak ngomong. Hahaha, maaf maaf. Emangnya kenapa?”
What. An.
Easygoing. Man! Dia gak tahu apa rekamannya itu hampir bikin kehidupan
kampusku berakhir. Aku menahan emosiku. Menghela nafas sejenak sebelum mulai
bertanya lagi.
“Gak masalah To. Kami gak pernah melarang pelanggan
mendokumentasikan kegiatan seksual kami, baik jujur maupun tidak. Kami baik-baik
saja dengan itu, selama itu tetap menjadi konsumsi pribadimu. Tapi akan menjadi
masalah kalau kamu menyebarkannya tanpa seizin kami. Ke siapa aja udah kamu
sebarin video kita, To?”
“What?? Nyebarin? Kamu ngomong apa sih? Aku gak pernah
nyebarin video yang aku buat sendiri. Itu cuma aku jadiin koleksi pribadi. Me, as a pornstar, you know. Hahaha!”
Bocah ini, masih bisa bercanda.
“Oh ya? Kalau begitu, boleh aku tanya di mana kamu simpan, ‘koleksi
pribadi’-mu itu, mister Rinto?” aku sudah mulai tidak tahan.
“Tentu saja adanya aman, di.......” omongan Rinto terhenti.
Dia terlihat berpikir sejenak. “Ya ampun!!!” Ia menepuk jidatnya. Kemudian
membawa jari-jarinya menyentuh bibirnya yang seksi sementara Ia berpikir. Wait,
baruan aku bilang apa? Seksi? Oh, gross.
“Well? Rinto? Di mana file-nya?” aku bertanya sekali lagi.
Rinto memandang ke arahku dengan pandangan yang bikin aku penasaran. Ini orang kenapa sih?
“Hmm, Jeng... Boleh aku tanya kenapa kamu menanyakan hal ini
dari tadi?” kata Rinto akhirnya. Meski yang keluar malah pertanyaan, tapi toh,
kujawab juga.
“Sebuah poster menyebar di kampus. Berisi gosip dan foto
tentang kegiatan prostitusi yang kulakukan. Dan orang yang ada di foto itu
adalah kamu dan aku, dalam posisi....” aku memandang sekitar, kemudian
berbisik, “....doggy style..”
Kalau aku sedang tidak dalam masalah seperti ini, aku akan
tertawa melihat ekspresi terkejutnya Rinto.
“Serius Jeng?”
Aku mengangguk.
“Kayaknya aku tahu deh kenapa bisa tersebar. Masalahnya, aku
gak tahu kenapa bisa menyebar di kampus kamu.”
“Hah? Maksudnya kamu tahu, gimana To?” perasaanku tidak enak.
“Kemarin, aku habis service laptop, Jeng. Dan, ada
kemungkinan orang service itu menemukan video kita. " kata-kata Rinto barusan mengonfirmasi perasaan tidak enak yang aku rasakan. Rinto menambahkan, "Mungkin dia yang sebarin,
kalau memang video kita tersebar. Tapi kalau masalah foto, dan kenapa itu bisa
disebar di kampus kamu, aku gak ngerti.”
Kenapa hal ini harus terjadi padaku.
<< Bersambung>>
haa. nusantaranger? hahaha
BalasHapusHahahaha, memasukkan semua fakta yang disukai ke dalam karya buatan adalah dasar dari semua fiksi.. *ngeles* :))
HapusHaha doggy style itu gimana kakci? *Melipir*
BalasHapusanu...anu.. ituu.........
Hapus*gugup*
penasaran doggy style nih. haha
BalasHapusanuuu.......doggy style ya.... anu.....
Hapus._. )
doggy style... gimana, ci?
BalasHapusOhh.. Ternyata Ajeng itu psk toh? Lah drtd kemana aja yak wkwk.
BalasHapusEmmm.. Doggy style tuh gimana ya kak? emmm...