KAI
Penyesalan hanyalah satu dari sekian kata yang sanggup melukiskan apa yang dirasakannya hingga saat ini. Diam
dan termenung, pria muda itu merapatkan tubuhnya sebisa mungkin ke bantal
guling kesayangannya. Malam yang terlalu dingin untuk dilewatkan sendirian. Pria itu memandang kosong ke sisi lain tempat tidurnya, kembali merenungi dirinya. Menyesali perbuatannya. Bingung. Kehilangan. Tidak ada kata-kata yang benar-benar tepat, yang dapat melukiskan perasaannya saat ini.
Sesuatu yang
sangat penting, yang selama ini menopang hidupnya, kini telah pergi. Tidak, Ia pergi, bukan
mati. Hanya pergi dari kehidupannya selama-lamanya. Pergi,…karena
kesalahannya sendiri. Pergi dengan terhina, merasa tak dihargai. Pergi dengan terluka, merasa tak disayangi. Dan satu-satunya yang dapat disalahkan atas hal itu adalah dirinya yang begitu egois.
Pagi
datang. Malam lagi. Lalu, pagi lagi. Tak terasa sudah seminggu
lebih pria itu merenungkan nasibnya. Dan disadari atau tidak, hari-hari terus berjalan, dan pria itu sama sekali tidak merasakan keinginan untuk bergabung dengan kehidupan yang terus berputar. Mungkin lebih tepatnya, bukan tak bisa. Tapi, lebih kepada tak ingin.
Adalah sepenuhnya salahnya ketika Ia berpikir Ia tak perlu lagi menjalani hidup seperti biasa karena hidupnya kosong
tanpa gadisnya.
Ia
merasa hari itu bagaikan mimpi. Ia merasa bentakannya pada tubuh mungil
itu hanya ilusi. Tak terbayangkan, kalau Ia pernah tega mendorong tubuh
gadisnya ke jalan. Tanpa berpikir betapa penting sebenarnya arti sang
gadis bagi dirinya. Betapa ia tak dapat hidup dan mengikuti berjalannya
waktu tanpa gadisnya. Gadisnya yang amat dicintainya.
Ia berhenti melakukan semua yang biasa dilakukannya untuk kekasihnya itu.
Berhenti.
Sama sekali.
Hingga pada satu titik, Ia mulai berpikir, hidupku ini juga, mungkin sebaiknya berhenti saja. Dan,…itulah yang dilakukannya, menghentikan denyut nadinya.
Pisau
ditangan kanannya…mulai bergerak maju dan mengiris pergelangan tangan yang satunya. Darah
mulai terlihat mengumpul pada satu titik, hingga ketika Ia menekan sedikit lebih keras ke belakang, darah mulai mengucur keluar. Tak lama, pria itu, Kai Atmajaya, hanya bisa mengeluarkan suara
lirih…usaha terakhirnya…
Kata-katanya keren kaaci, menyentuh hatii!!
BalasHapusWuaaaa thank you Asha chan!! :')
HapusKeren!
BalasHapusserius kak Adit? Aahahahha seneng bisa menghibur.
HapusDiksinya pas kak ;)
BalasHapusselalu suka tulisanmu kak
Aaakk, makasih dear!! :')
HapusTunggu yang selanjutnya ya, semoga tetep jadi kesukaanmu.
Kren sumpah keren :)) Endingnya waw
BalasHapusmasih ada lanjutannya lho bro. Hahaha! Selamat menikmati.
Hapuskak.. to be honest sih ya. aku bacanya skimming aja. jadi gak ngerti knp mrk yg komen di atas blg bagus. haha. maaf ya.
BalasHapusbtw, ternyata Kai dan Killa itu saling kenal ya. aku bacanya mulai dari cerita terakhir soalnya.
and kak, verifikasi captcha boleh dihilangin gak?
@zega... hahahaha ceritanya belum sampe ke inti, jadi begitulah. Mungkin yang mereka bilang bagus, pengungkapannya dari segi tulisan, bukan dari segi cerita. #halah #pedebanget
HapusNanti kak aci edit judulnya jadi ada urutannya yaa. :))
Ada ya captchaa? Ahh kak aci gak tau, maaap... Coba kak aci utak atik deh. :D